Rss Feed
Welcome Myspace Comments

Bunda Matahari Menangis :))


                Berjuta tahun tahun sudah matahari mengasuh anak-anaknya. Ada Merkuririus, Venus, dan Bumi. Tak ketinggalan Mars, Yupiter, Saturnus, Uranus, Neptunus, dan Pluto. Bunda Matahari tak sedikitpun membiarkan mereka lepas. Bunda Matahari mengikat mereka dengan sebuah tali. Gravitasi, nama tali itu.
                Bunda Matahari selalu ada dalam kisaran anak-anaknya. Sepanjang siang dan malam. Begitu selamanya. Hingga di suatu hari...........
                “hei, ada apa dengan anakku bumi !”. Bunda Matahari kali ini terhalang, pandangannya ke bumi. “Kemana Bumi anakku. Aku tidak melihatmu. Yang ada hanya gumpalan putih dan putih saja. Aduh......Ada apa yah dengan bumi?” kata Bunda Matahari.
                Bunda Matahari menunggu beberapa saat, bumi tak juga muncul. Ia semakin khawatir. Akhirnya, Bunda Matahari memanggil para pembantunya. Semuanya bernama Nensa. Lengan mereka panjang-panjang dan tipis, merah membara warnanya.
                “Wahai Nensa-nensaku,” ujar Bunda Matahari.
                “Ya, Bunda !”
                “Apakah kalian melihat Bumi anakku hari ini ?”
                “Memangnya ada apa dengan Bumi, Bunda ?”
                “Lihatlah ke sana. Bumi tidak ada di tempatnya. Bumi hilang. Hanya ada gumpalan putih,” suara Bunda Matahari bergetar. Bunda Matahari sedih.
Nensa-nensa itu pun hanya melihat warna putih, jangan-jangan Bumi lenyap, pikir mereka.
                “Nensaa.......”Bunda Matahari mejerit histeris.
                “Ya, Bunda !”
                “Sekarang kalian semua pergi, jangan pulang sebelum anakku Bumi dapat di jumpai.”
Nensa-nensa itupun berangkat. Mereka mancari Bumi. Jalan mereka berlanggak-lenggok. Sesekali dikibas-kibaskan lengan mereka yang panjang dan tipis itu. Setiap kibasan memercikkannya warna merah membara. Memberi terang jalan yang mereka lewati. Namun , uft.....Nensa-nensa itu melupakan sesuatu. Mereka tidak tahu tempat tinggal Bumi.
                “Hei, kamu tahu alamat si Bumi?” tanya sebuah Nensa.
                “Tidak tuh......Kalau kamu?” tambah Nensa yang satu.
                “Aduh, bagaimana itu?"
                “Ya sudah, Kita cari saja, “kata Nensa yang pertama tadi.
                “Ayo kita tembus gumpalan putih itu. Berangkatlah di baliknya ada Bumi”
Seperti anak-anak kecil, mereka dorong-mendorong. Tak ada yang berani memulai.
                “Kamu duluan!”
                “Kamu.....”
                “Aduhhh......Kamu dong !”
Tak ada yang berani. Mau kembali, takut Bunda Matahari marah. Mau terus,ragu. Akhirnya, diputuskan mereka bersama-sama menembus gumpalan putih itu.
                “Wuussssshhhh !” Terdengar gesekan tubuh-tubuh Nensa dengan gumpalan putih. Namun, apa yang terjadi ?
                “Uk.....uhk.....uhk,” Nensa-nensa itu terbatuk-batuk. Mata mereka perih berair. Rupanya itu gumpalan asap kobaran api.
                “Aduh. Kasihan Bumi !” kata Nensa-nensa itu. Sedih didapatkan sebagian Bumi hangus terbakar. Bumi merintih. Ia tak kuat lagi menahan sakit. Sebagian hewan dan tumbuhan yang hidup dengannya, hangus. Mati terbakar.
                Melihat nasib buruk Bumi, Nensa-nensa itu tercenung. “ Apa salahmu Bumi ?”
                Bumi menggeleng. Tatapannya kosong. Sesekali ia merintih.” Aku tak mengerti, “ kata Bumi.
Meskipun sedih, Nensa-nensa itu masih bisa tersenyum, mereka menghibur Bumi.
                “Sudahlah Bumi. Yang penting kamu masih ada.”
                “Bagaimana Bunda Matahariku?”tanya Bumi.
                “Yah...... Bundamu khawatirlah,” jawab Nensa-nensa itu.
                “Tolong ya, jangan sampai bundaku tahu semua ini !” kata Bumi.
                “Lha ..... Memangnya kenapa ?”
                “Aku malu. Sepertinya aku tak mampu jaga diri,” jawab Bumi.
                “Tidak bisa! Kami harus melaporkan ini semua. Bunda Matahari mesti tahu. Kalau tudak, kami tak boleh pulang.”
                “Yah, terserah kalianlah !” ujar Bumi pasrah.
                “Tapi, kami perlu bukti bahwa kamu masih ada. Siapa yang jadi saksi ? Ikut menemui Bunda Matahari.”
                “Ini .... !” Bumi mecabut sebatang pokok pohon yang hangus dari tubuhnya. Diserahkan pada rombongan Nensa itu.
Dikutip dari majalah GEMA No. 7/Th. IV/1999




 

0 komentar:

Posting Komentar

Minggu, 27 November 2011

Bunda Matahari Menangis :))

Posted by : Nopita sari di 05.27


                Berjuta tahun tahun sudah matahari mengasuh anak-anaknya. Ada Merkuririus, Venus, dan Bumi. Tak ketinggalan Mars, Yupiter, Saturnus, Uranus, Neptunus, dan Pluto. Bunda Matahari tak sedikitpun membiarkan mereka lepas. Bunda Matahari mengikat mereka dengan sebuah tali. Gravitasi, nama tali itu.
                Bunda Matahari selalu ada dalam kisaran anak-anaknya. Sepanjang siang dan malam. Begitu selamanya. Hingga di suatu hari...........
                “hei, ada apa dengan anakku bumi !”. Bunda Matahari kali ini terhalang, pandangannya ke bumi. “Kemana Bumi anakku. Aku tidak melihatmu. Yang ada hanya gumpalan putih dan putih saja. Aduh......Ada apa yah dengan bumi?” kata Bunda Matahari.
                Bunda Matahari menunggu beberapa saat, bumi tak juga muncul. Ia semakin khawatir. Akhirnya, Bunda Matahari memanggil para pembantunya. Semuanya bernama Nensa. Lengan mereka panjang-panjang dan tipis, merah membara warnanya.
                “Wahai Nensa-nensaku,” ujar Bunda Matahari.
                “Ya, Bunda !”
                “Apakah kalian melihat Bumi anakku hari ini ?”
                “Memangnya ada apa dengan Bumi, Bunda ?”
                “Lihatlah ke sana. Bumi tidak ada di tempatnya. Bumi hilang. Hanya ada gumpalan putih,” suara Bunda Matahari bergetar. Bunda Matahari sedih.
Nensa-nensa itu pun hanya melihat warna putih, jangan-jangan Bumi lenyap, pikir mereka.
                “Nensaa.......”Bunda Matahari mejerit histeris.
                “Ya, Bunda !”
                “Sekarang kalian semua pergi, jangan pulang sebelum anakku Bumi dapat di jumpai.”
Nensa-nensa itupun berangkat. Mereka mancari Bumi. Jalan mereka berlanggak-lenggok. Sesekali dikibas-kibaskan lengan mereka yang panjang dan tipis itu. Setiap kibasan memercikkannya warna merah membara. Memberi terang jalan yang mereka lewati. Namun , uft.....Nensa-nensa itu melupakan sesuatu. Mereka tidak tahu tempat tinggal Bumi.
                “Hei, kamu tahu alamat si Bumi?” tanya sebuah Nensa.
                “Tidak tuh......Kalau kamu?” tambah Nensa yang satu.
                “Aduh, bagaimana itu?"
                “Ya sudah, Kita cari saja, “kata Nensa yang pertama tadi.
                “Ayo kita tembus gumpalan putih itu. Berangkatlah di baliknya ada Bumi”
Seperti anak-anak kecil, mereka dorong-mendorong. Tak ada yang berani memulai.
                “Kamu duluan!”
                “Kamu.....”
                “Aduhhh......Kamu dong !”
Tak ada yang berani. Mau kembali, takut Bunda Matahari marah. Mau terus,ragu. Akhirnya, diputuskan mereka bersama-sama menembus gumpalan putih itu.
                “Wuussssshhhh !” Terdengar gesekan tubuh-tubuh Nensa dengan gumpalan putih. Namun, apa yang terjadi ?
                “Uk.....uhk.....uhk,” Nensa-nensa itu terbatuk-batuk. Mata mereka perih berair. Rupanya itu gumpalan asap kobaran api.
                “Aduh. Kasihan Bumi !” kata Nensa-nensa itu. Sedih didapatkan sebagian Bumi hangus terbakar. Bumi merintih. Ia tak kuat lagi menahan sakit. Sebagian hewan dan tumbuhan yang hidup dengannya, hangus. Mati terbakar.
                Melihat nasib buruk Bumi, Nensa-nensa itu tercenung. “ Apa salahmu Bumi ?”
                Bumi menggeleng. Tatapannya kosong. Sesekali ia merintih.” Aku tak mengerti, “ kata Bumi.
Meskipun sedih, Nensa-nensa itu masih bisa tersenyum, mereka menghibur Bumi.
                “Sudahlah Bumi. Yang penting kamu masih ada.”
                “Bagaimana Bunda Matahariku?”tanya Bumi.
                “Yah...... Bundamu khawatirlah,” jawab Nensa-nensa itu.
                “Tolong ya, jangan sampai bundaku tahu semua ini !” kata Bumi.
                “Lha ..... Memangnya kenapa ?”
                “Aku malu. Sepertinya aku tak mampu jaga diri,” jawab Bumi.
                “Tidak bisa! Kami harus melaporkan ini semua. Bunda Matahari mesti tahu. Kalau tudak, kami tak boleh pulang.”
                “Yah, terserah kalianlah !” ujar Bumi pasrah.
                “Tapi, kami perlu bukti bahwa kamu masih ada. Siapa yang jadi saksi ? Ikut menemui Bunda Matahari.”
                “Ini .... !” Bumi mecabut sebatang pokok pohon yang hangus dari tubuhnya. Diserahkan pada rombongan Nensa itu.
Dikutip dari majalah GEMA No. 7/Th. IV/1999




 

0 komentar:

Posting Komentar

Related Posts Plugin for WordPress, Blogger...